Belajar....Berlatih...Amalkan...!!!

Belajar....Berlatih...Amalkan...!!!
Kobarkan Semangat Berlatih WUJUDKAN UNTUK BERKARYA...BERBAKTI...DAN BERPRESTASI

Sabtu, 12 Desember 2009

DUA LAMBANG? MUNGKIN SAJA, ASAL …

Untuk anggota Let Medical Personnel Do Their Duty @ War. Support the Bill of Emblem Law


Fitriana Sidikah 27 September jam 22:19 Balas
Sebelum melanjutkan pembahasan, saya yakin jika banyak pihak tidak tahu apa sebetulnya isi Konvensi Jenewa 1949 dan mengapa konvensi itu demikian penting sehingga membuat 191 dari 194 negara di dunia merasa perlu menyetujui isi konvensi tersebut. Konvensi Jenewa 1949 mengatur tentang:

1. Konvensi I: perbaikan keadaan anggota angkatan perang yang luka dan sakit di medan pertempuran darat.
2. Konvensi II: perbaikan keadaan anggota angkatan perang di laut yang luka, sakit dan korban karam.
3. Konvensi III: perlakuan terhadap tawanan perang.
4. Konvensi IV: perlindungan orang-orang sipil di waktu perang.

Nah…… untuk membantu anggota angkatan perang yang luka-luka itu, Konvensi Jenewa memberikan satu TANDA KHUSUS bagi para penolong yang berasal dari dinas kesehatan angkatan perang suatu Negara berupa TANDA PALANG MERAH DIATAS DASAR PUTIH (dan sebagai alternatifnya dapat digunakan TANDA BULAN SABIT MERAH DIATAS DASAR PUTIH).

Oleh karenanya, lambang-lambang itu disebut dengan lambang Konvensi Jenewa, BUKAN lambang kemanusiaan. Oleh karena penggunaannya terkait dengan perlindungan pada saat perang, maka Negara wajib mengaturnya dalam ketentuan hukum nasional. Selain itu, sebagai identitas Negara, maka Konvensi Jenewa 1949 juga mensyaratkan bahwa SATU NEGARA HANYA BOLEH MENGGUNAKAN SATU LAMBANG SAJA: PALANG MERAH ATAU BULAN SABIT MERAH.

Indonesia telah memilih menggunakan palang merah untuk Dinas Kesehatan TNI. Oleh karenanya perhimpunan nasional yang didirikan oleh Pemerintah Indonesia, wajib menggunakan lambang pelindung yang sama dengan Dinask Kesehatan TNI yaitu palang merah sehingga bernama Palang Merah Indonesia.

MUNGKINKAH INDONESIA MERUBAH LAMBANG PELINDUNG DINAS KESEHATAN TNI MENJADI BULAN SABIT MERAH? MUNGKIN SAJA. DAN BOLEH. ITU ADALAH HAK PEMERINTAH. CARANYA? PEMERINTAH TINGGAL MENGUMUMKAN KEPADA DUNIA INTERNASIONAL BAHWA LAMBANG PELINDUNG ATAU LAMBANG KONVENSI JENEWA YANG DIGUNAKAN OLEH INDONESIA TELAH BERGANTI MENJADI BULAN SABIT MERAH.

BAGAIMANA DENGAN PMI? TENTUNYA SEBAGAI PERHIMPUNAN NASIONAL, PMI WAJIB PULA MENGGANTI LAMBANGNYA MENJADI BULAN SABIT MERAH DAN MENGGANTI NAMANYA MENJADI BULAN SABIT MERAH INDONESIA. ADAPUN ORGANISASI-ORGANISASI LAIN YANG MENGGUNAKAN LAMBANG BULAN SABIT MERAH, TETAP SAJA TIDAK BERHAK MENGGUNAKANNYA KARENA MEREKA BUKANLAH DINAS KESEHATAN TNI DAN BUKAN PERHIMPUNAN NASIONAL YANG DIDIRIKAN OLEH PEMERINTAH.


Beberapa kemungkinan

Berikut beberapa kemungkinan yang bisa terjadi dalam tiga hari kedepan terkait pembahasan RUU Lambang Palang Merah:

1. RUU Lambang Palang Merah disahkan tanpa syarat.
2. RUU Lambang Palang Merah disahkan dengan syarat: tanpa sanksi pidana dan perdata.
3. RUU Lambang Palang Merah dilanjutkan pembahasannya pada periode mendatang.
4. Negara mengesahkan dua lambang digunakan secara resmi di Indonesia dan penggunaannya bebas tanpa batas, sebagaimana yang nyaris terjadi pada UU Penanggulangan Bencana No 24 tahun 2007.*

Tiga yang disebut pertama, tidak akan terlalu bermasalah secara hukum internasional. Namun yang terakhir – dimana usulan ini yang paling digemari oleh banyak pihak – justru akan menimbulkan masalah yang tidak sederhana di kemudian hari. Masalah tersebut, tentunya tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Dalam arti, besar kecilnya masalah tersebut tentu tergantung pada bagaimana kita mau menyikapinya.

Pertanyaannya, apakah mungkin, jika Indonesia secara sah meresmikan penggunaan dua lambang sekaligus yaitu lambang palang merah dan lambang bulan sabit merah serta sekaligus melegalkan penggunaan lambang secara bebas? Dalam arti siapa pun boleh menggunakannya – seperti saat ini – namun hal itu disahkan secara hukum?

(catatan: Kalau saat ini, secara hukum sebetulnya tidak sah. Tapi karena hukum di Indonesia tidak berjalan dengan baik, maka pelanggaran hukum dibiarkan).

JAWABANNYA: MUNGKIN SAJA. DENGAN SYARAT:

1. Pemerintah Indonesia bersedia diposisikan sebagai pemerintahan yang negaranya telah MELANGGAR KESEPAKATAN INTERNASIONAL yang disebut dengan Konvensi Jenewa 1949. Dengan demikian, ada baiknya Indonesia sekalian saja mencabut UU No 58 tahun 1959 tentang Keikutsertaan Indonesia terhadap konvensi Jenewa 1949.

2. Ada baiknya kita mulai menghilangkan kebanggaan sebagai warga Negara yang mampu mengirimkan pasukan perdamaian. Lho kok? Iyalah. Karena pasukan perdamaian itu dikirim oleh PBB ke Negara-negara perang. Artinya, secara hukum, Negara yang tentaranya diminta terlibat dalam pasukan perdamaian, tentunya harus menghormati isi-isi Konvensi Jenewa 1949 yang merupakan salah satu hukum yang mengatur tentang perang. Nah, kalo negaranya saja tidak menghormati hukum perang, bagaimana PBB mau menjamin jika tentara Indonesia bakal bertugas sesuai dengan misi pasukan perdamaian?

Hehehe.. Harap diingat. Pasukan perdamaian dari Indonesia dikirim setelah Indonesia secara sah meratifikasi Konvensi Jenewa 1949.

3. Pemerintah Indonesia setuju jika TENTARA INDONESIA KEHILANGAN JAMINAN PERLINDUNGAN saat berada didalam wilayah konflik bersenjata. Nah, ini satu lagi yang akan membuat PBB mempertimbangkan Indonesia berperan serta dalam pasukan perdamaian PBB kedepan. Kenapa? Lha, tentara Indonesia itu tidak wajib dilindungi. Bagaimana mau melindungi pihak lain? Sebagai pasukan perdamaian pula.

4. Salah satu isi Konvensi adalah tentang perlindungan orang-orang sipil di waktu perang. APAKAH KEMUDIAN YANG BISA MELINDUNGI RAKYAT SIPIL KITA SECARA HUKUM INTERNASIONAL, andaikata Indonesia terjebak dalam kondisi konflik bersenjata?

5. INDONESIA TIDAK AKAN SAH KEHADIRANNYA DALAM SETIAP KONFERENSI INTERNASIONAL setiap 4 tahun sekali di Jenewa, yang dihadiri oleh Negara-negara pihak Konvensi Jenewa 1949.

6. Oleh karena Indonesia bukan lagi menjadi Negara pihak Konvensi Jenewa 1949, untuk itu PENGGUNAAN LAMBANG KONVENSI JENEWA OLEH PERHIMPUNAN NASIONAL DI INDONESIA PUN MENJADI TIDAK SAH. Ya iyalah. Penggunaan oleh tentaranya saja tidak sah. Nah, Apakah kemudian penggunaan lambang bulan sabit merah oleh organisasi-organisasi non perhimpunan nasional yang menggunakan lambang bulan sabit merah menjadi sah? Tentu tidak. Pasalnya, Indonesia secara keseluruhan menjadi tidak sah secara hukum untuk menggunakan lambang-lambang Konvensi Jenewa 1949, baik lambang palang merah maupun lambang bulan sabit merah dalam kondisi apa pun. Untuk tentara dan perhimpunan nasional saja tidak sah, bagaimana bisa sah digunakan oleh non tentara dan non perhimpunan nasional?

7. Oleh karena keberadaan perhimpunan nasional di Indonesia menjadi tidak diakui, maka PERHIMPUNAN-PERHIMPUNAN NASIONAL PALANG MERAH DAN BULAN SABIT MERAH DARI NEGARA-NEGARA SAHABAT JUGA AKAN SULIT UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEMANUSIAAN JIKA DI INDONESIA TERJADI BENCANA. Pasalnya, ada ketentuan yang mengatur bahwa perhimpunan nasional untuk dapat melakukan kegiatan kemanusiaan di Negara lain adalah bekerja sama dengan perhimpunan nasional Negara tersebut. Dalam konteks Negara, menjadi tidak ada ‘perjanjian diplomatiknya’.

Referensi Negara Konflik

Sekedar informasi, masalah ini – yaitu ketidakpahaman masyarakat (saya tidak akan menggunakan kata bodoh) atas penggunaan lambang Konvensi Jenewa - tidak hanya dialami oleh Indonesia lho. Artinya, ada beberapa Negara di dunia yang juga bermasalah. Mau tahu? Mereka adalah:

1. ERITREA. Ini adalah Negara pecahan Ethiopia yang hingga saat ini masih diwarnai konflik bersenjata non internasional. Akibatnya, Tentara Eritrea secara hukum internasional tidak berhak menggunakan lambang Konvensi Jenewa. Perhimpunan Nasional Palang Merah Eritrea pun hingga saat ini keberadaannya belum diakui secara internasional.

2. KAZAKHSTAN. Ini adalah Negara pecahan Uni Soviet. Ketika Uni Soviet pecah, pemerintahan baru di Kazakhstan melegalkan penggunaan dua lambang oleh dinas kesehatan tentara mereka dan oleh perhimpunan nasional. Nasib mereka? Ya sama dengan Eritrea. Konflik selesai ketika Kazakhstan memilih lambang bulan sabit merah.

3. ISRAEL. Negara yang selalu diwarnai perang ini pun bermasalah dalam hal pemilihan lambang. Namun masalah selesai ketika mereka memilih menggunakan lambang Kristal Merah. Lambang Kristal Merah adalah lambang alternative lain yang berfungsi sama seperti lambang palang merah dan lambang bulan sabit merah. Lambang ini disahkan oleh dunia internasional melalui aturan internasional yang disebut Protokol Tambahan III.

4. AKANKAH INDONESIA MENEMPATI URUTAN KE 4? DAN MENJADI CALON NEGARA KONFLIK BERIKUTNYA? Cepat atau lambat, dunia internasional akan melihat ketidak konsistenan Indonesia sebagai Negara yang (katanya) menghormati hukum namun dengan mudah melecehkan hukum. Apalagi saat ini, beberapa pihak selalu mengkaitkan penggunaan lambang dengan unsure SARA. Artinya, bibit-bibit perpecahan bernuansa SARA mulai dituai. Inikah yang diinginkan oleh kita semua? Akankah kedepan kita harus bersiap diri mengucapkan selamat tinggal NKRI? Wallahualam…

Catatan: * Pada UU no 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, untuk pertama kalinya dalam sejarah pembahasan undang-udang, demi kepentingan Negara, maka Sidang Paripurna menganulir satu pasal yang mengakomodir penggunaan dua lambang secara bebas oleh non TNI dan non PMI. Padahal pasal-pasal itu sudah disetujui oleh Pansus. Jika saat itu DPR kebablasan ketok palu, maka posisi Indonesia dalam 7 butir diatas sudah terjadi saat ini. Apakah DPR akan kembali mengulang kekeliruan serupa? Let’s see.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar